Cerita Misteri Bangku Kereta Api Nomor 13
Cerita Misteri Bangku Kereta Api Nomor 13
Perjalanan jauh dengan kereta merupakan sebuah perjalanan yang penuh
dengan petualangan. Banyak hal yang bisa kita dapat dari perjalanan jauh
ini. Seperti halnya kisah perjalananku selama dua hari satu malam
dengan Kereta Bima, Jakarta-Surabaya. Perjalanan kali ini, seperti
halnya perjalana-perjalanan sebelumnya, tak pernah kusia-siakan hanya
dengan melihat-lihat pemandangan lewat jendela ataupun tertidur
sepenjang perjalanan. Ada suatu hal yang biasa kulakukan untuk mengisi
perjalanan dengan kereta api yaitu dengan “mengobrol”. Mengobrol
merupakan cara yang ampuh untuk mengusir rasa bosan dan juga baik untuk
kesehatan terutama otot-otot muka guna menjaga keremajaan kulit dan
elastisitasnya. Mengobrol hanya membutuhkan sedikit energi dengan
sedikit cemilan dan sebotol softdrink lengkap sudah fasilitas untuk
memulai suatu obrolan.
Sudah tiga puluh menit berlalu semenjak
aku terduduk sendiri di bangku nomor 14 gerbong ketiga. Kulihat bangku
nomor 15 yang terletak disebelahku belum juga terisi penumpang dan juga
bangku nomor 13 dan 12 yang terletak di hadapanku kosong sama sekali.
“Kalo begini gimana aku bisa dapat teman ngobrol?”.
“Ting…teng…ting…teng…lima menit lagi Kereta Bima akan segera
diberangkatkan”, begitu bunyi pengumuman dan petugas stasiun. Kereta
mulai penuh oleh para penumpang. Semua bangku telah terisi kecuali tiga
buah bangku yang ada di dekatku, tak juga ada yang menempati. Sudah
empat puluh menit aku menunggu teman seperjalananku, namun mungkin
takdir berkata lain. Di perjalanan kereta kali ini, mungkin akan
kulewatkan dengan tidur atau melihat-lihat pemandangan saja.
“Huaaaah…!!”, suasana ini membuatku mengantuk, mataku mulai
berkaca-kaca. Tak terasa aku pun terlelap untuk beberapa waktu.
“Roooeng…!!!”, “Hah, bunyi apa itu…?”, aku tersentak, dan bangun dari
tidurku. Oh rupanya bunyi yang melengking itu hanyalah bunyi pertanda
kereta akan segera diberangkatkan. Kereta pun mulai berangkat.
“Huaaah…!!”, lagi-lagi meliuk-liukkan tubuhku, mencoba melemaskan semua
otot-otot yang tadi kaku karena kugunakan tidur dalam keadaan duduk.
Kini ngantukku serasa hilang dalam sekejap oleh getaran-getaran berirama
yang ditimbulkan oleh roda-roda kereta. Kuperhatikan sekelilingku,
nampaknya bangku nomor 12 dan 13 yang ada dihadapanku serta bangku nomor
15 yang terletak di sampingku memang tak ada yang menempatinya. Atau
memang tak ada yang mau mendudukinya? Ah masa bodoh…
Tiba-tiba
seorang wanita muda dengan tergesa-gesa berjalan sambil menyeret sebuah
koper yang tampaknya cukup berat menuju ke arahku. Dia tampaknya butuh
pertolongan. Pak kondektur pun menghampirinya. “Anda butuh pertolongan
Nyonya?”, tegurnya dengan sopan. “Iya Pak, tolong saya Pak!”, ujar
nyonya itu dengan nada setengah panik. “Maaf nyonya, bisa tolong
tunjukkan tiket anda?”, ujar sang kondektur. “Ini pak, saya duduk di
bangku nomor 13”, jawabnya dengan nafas terengah-engah. “Oh bangku nomor
13 ada di sebelah sini nyonya. Silahkan, anda bisa duduk dan tenangkan
diri anda terlebih dahulu”, ujarku memotong pembicaraan mereka.
“Pak kondektur..anak saya pak…anak saya hilang di kereta ini”, ujar nyonya itu yang tampaknya tak menghiraukan perkataanku.
Pak kondektur pun berkata lagi pada nyonya itu dengan lembut “Nyonya,
anda bisa duduk dulu di bangku dan ceritakan semua kejadiannya pada
kami.”
Mendengar hal itu kemudian si nyonya pun akhirnya duduk
dan kemudian mulai mencoba menenangkan diri. Setelah merasa cukup tenang
ia pun bercerita “Begini Pak Kondektur, aku naik ke kereta ini bersama
anak laki-lakiku yang bernama Andi. Ketika kami tiba di stasiun, kereta
hampir saja berangkat. Karena takut ketinggalan kereta aku pun menaikkan
Andi terlebih dahulu kemudian aku turun lagi untuk membawa koper yang
kutitipkan pada seorang penjual makanan yang menunggu di depan pintu
masuk gerbong lima kereta ini. Sementara itu Andi ku suruh mencari
tempat duduk nomor 13 dan 14 yang telah kami pesan. Saat itu para
penumpang masuk secara berdesakkan, mungkin mereka juga tak ingin
ketinggalan kereta. Bahkan ketika aku ingin masuk, hampir saja aku
terdorong keluar oleh penumpang lain yang juga turut berdesak-desakkan.
Dan sesampainya di dalam kereta aku mencari-cari Andi dan tidak
menemukannya.”
“Oh begitu”, ujar kondektur manggut-manggut.
“Ehm begini saja nyonya. Sekarang saya akan mencari anak nyonya dan
nyonya silahkan tunggu di sini. Oh ya apakah nyonya yakin kalau anak
nyonya sudah masuk ke dalam kereta ini?”, Tanya pak kondektur.
“Saya yakin pak. Anak saya tak mungkin keluar lagi, karena ketika kami
masuk, para penumpang yang lain juga masuk bahkan hingga
berdesak-desakkan sehingga tak mungkin ia bisa keluar.”, jelas nyonya
itu.
“Oh ya, bagaimana ciri-ciri anak nyonya?”
“Hmm…anak saya memakai baju kemeja warna biru laut dan celana pendek
warna hitam. Umurnya 10 tahun dan tingginya sekitar 150 cm. Ia berkaca
mata dan rambutnya hitam lurus.”, jawab nyonya itu.
“Ya…cukup jelas, kami pasti menemukannya”, ujar sang kondektur meyakinkan nyonya itu.
Lima menit telah berlalu, namun si kondektur tadi tak juga kembali.
Nyonya itu nampak masih gelisah sejak tadi, wajahnya memerah dipenuhi
sejuta penyesalan.
“Maaf nyonya, mau permen?”, ujarku seraya menyodorkan lima bungkus permen cokelat yang tadi kubeli dari pedagang kaki lima.
“Hmm maaf…terima kasih”, ujarnya menolak.
“Tenang saja nyonya, tak perlu terlalu gelisah. Anak nyonya pasti
ditemukan, mungkin saja dia tadi bingung dan tersesat di gerbong lain.
Kereta ini kan hanya terdiri dari beberapa gerbong dan anak nyonya tak
mungkin akan jauh-jauh pula dari sini’, ujarku mencoba menenangkannya.
“Oh ya, tujuan nyonya mau kemana?”
“Hmm….saya mau ke Surabaya, ke rumah kakak ipar saya untuk mengabarkan suatu hal”, jawab nyonya itu.
“Lalu suami anda…?”
“Dia baru saja wafat tiga hari yang lalu”
“Oh maaf nyonya…ehm saya turut berduka cita atas wafatnya suami nyonya.”
Waktu pun telah berlalu dua jam lamanya. Hari kini mulai beranjak sore,
kereta api delapan gerbong yang kini kunaiki mulai menembus senja.
Obrolanku dengan nyonya ini semakin menarik saja, dan nampaknya si
nyonya mulai melupakan anaknya yang belum juga ditemukan.
Saat
ini aku mulai tahu banyak tentang nyonya itu. Ternyata yang duduk di
bangku nomor 12 adalah anaknya dan yang duduk di bangku nomor 15 yang
ada disebelahku adalah suaminya yang kini telah wafat semenjak tiga hari
yang lalu. Suaminya adalah seorang polisi lokal. Ia wafat karena
tertembak ketika terjadi baku tembak dengan para perampok bank tiga hari
yang lalu. Semula mereka bertiga memang hendak liburan ke rumah Nenek
anak semata wayangnya di Surabaya. Kematian sang Ayah pada mulanya
membuat rencana kepergian Si Nyonya dibatalkan. Namun karena si Nyonya
kemudian mendapat kabar bahwa ibundanya di kampung halaman sedang sakit
keras, dan dengan pertimbangan tiket yang sudah dipesan, jadilah mereka
berdua memaksakan diri pergi ke Surabaya meskipun masih dalam suasana
duka.
“Maaf nyonya apa makanan favoritmu?”, tanyaku.
“Hm…aku amat menyukai cokelat, suamiku dan anakku juga menyukainya.
Cokelat sudah lama menjadi makanan favorit keluarga kami.”, jawabnya.
“Kalau anda Tuan?”
“Hmm…aku juga suka cokelat, tapi terkadang
aku juga suka permen dan juga kembang gula. Pokoknya semua makanan yang
manis-manis aku menyukainya.”, jawabku.
Tiba-tiba si nyonya itu
mengeluarkan sebuah kotak dari tas kecil yang diipangkunya. Dan ia
membuka kotak itu. Ternyata isinya adalah cokelat.
“Anda mau cokelat, Tuan?”, ujarnya seraya menyodorkan kotak itu ke arahku.
Aku pun mengambil tiga bungkus cokelat dari kotak itu. “Hmm…terima
kasih nyonya.”, ucapku seraya menaruh dua bungkus cokelat ke dalam saku
kemejaku. Sementara yang sebungkus lagi kubuka dan kumasukkan ke dalam
mulutku.
“Bagaimana rasanya, Tuan?”, Tanya nyonya itu.
“Hmm…sangat enak.”, jaawabku.
Nyonya itu cukup menarik untuk dijadikan teman ngobrol. Setelah sekian
lama mengobrol tampaknya aku mulai suka padanya. Wanita itu lumayan
cantik, wajahnya sangat ayu dengan bibirnya yang manis. Matanya juga
indah. Rambutnya tergerai lurus sepinggang. Lama-lama aku merasa
tertarik kepadanya. Hatiku mulai bertanya-tanya “Apakah aku telah jatuh
cinta?’
Dalam sekejap kami menjadi lebih akrab. Rupanya si
nyonya itu juga suka mengobrol sepertiku. Kami pun melanjutkan obrolan
kami hingga lupa waktu.
Sejam kemudian. Pak kondektur datang
mengantarkan seorang anak berambut lurus dan berkaca mata. “Oh anakku!”,
si nyonya sejenak tersentak melihat anaknya, lalu memeluknya sambil
menetesakan air mata. Ia baru ingat bahwa anaknya telah hilang di kereta
beberapa jam yang lalu. Dengan perasaan bersalah ia pun memeluk anaknya
erat-erat sambil menangis.
Aku dan pak kondektur hanya bisa
memandang kedua anak dan ibu itu sambil tersenyum lega. Setelah itu si
nyonya itu pun kemudian berterima kasih kepada pak kondektur.
“Maaf nyonya kami terlalu lama menemukan anak anda. Tampaknya anak anda
tersesat di kereta ini dan kelelahan, lalu ia pun tertidur di dekat
tumpukkan barang di pojok gerbong delapan. Tadinya kami tak mengira anak
itu bersembunyi di sana. Namun, setelah kami berpikir bahwa tak ada
salahnya memeriksa tumpukkan barang kami pun memeriksanya dan berhasil
menemukan anak nyonya ini.”, jelas pak kondektur.
‘Tak apa-apa
pak kondektur, yang penting saat ini anakku sudah di temukan. Terima
kasih….pak…saya ucapkan beribu-ribu terima kasih.”, ujar nyonya itu.
“Tak apa nyonya, itu memang sudah tugas kami.”, ujar pak kondektur.
Tak lama kemudian suasana pun kembali tenang. Sang anak sudah duduk di
bangkunya dan si nyonya kembali melanjutkan obrolannya denganku. Kami
pun mengobrol cukup lama dan kuperhatikan, selama kami mengobrol, anak
nyonya itu menatapku tajam ke arahku. Aku jadi sedikit salah tingkah.
Anak nyonya itu tampaknya tak suka kepadaku. Ia lalu menarik-narik
ibunya dan membisikkan sesuatu ke telinga ibunya. Si nyonya
manggut-manggut lalu berbicara lirih kepadaku “Tampaknya anakku tidak
terlalu menyukaimu, maaf ya, harap di maklumi karena anakku baru saja
kehilangan ayahnya. Jadi, ia tak begitu suka kalau ada lelaki lain yang
mendekatiku.”
Aku pun manggut-manggut seraya mengerti apa yang
dimaksud si nyonya itu. Aku pun bisa memahami perasaan mereka.
“Hmmm….baiklah kalau begitu aku mohon diri sejenak, rasanya ingin aku
berjalan-jalan ke gerbong lain. Lagi pula kakiku rasanya mulai kesemutan
semenjak tadi duduk di bangku.”, ujarku pamit untuk pergi sejenak.
Sambil berjalan santai aku pun menelusuri gerbong-gerbong kereta sampai
di ujung gerbong ke delapan yang terletak paling ujung, aku duduk di
sebuah bangku kosong yang terletak di depan bagasi tempat barang-barang.
Bangku-bangku di gerbong delapan nampaknya banyak yang kosong. Aku
kemudian menatap keluar jendela sambil memandang bulan purnama yang
membumbung tinggi di luar sana.
Tak terasa tiga puluh menit
berlalu dengan cepatnya. Aku bangkit dari tempat duduk dan berjalan
menuju bangku nomor 14, tempat dudukku yang semula, “Mungkin si anak
tadi sudah lelap tertidur dan aku pun bisa ngobrol lagi dengan si nyonya
tadi.”, pikirku.
Namun, sesampainya di bangkuku, yang ada
hanya anak tadi yang masih terjaga. Kemudian aku pun duduk, dan
memberanikan diri bertanya kepada anak itu. “Nak, dimana ibumu?”
“Mau apa kamu mencari-cari ibuku! Lagi pula apa urusanmu menanyakan
dimana ia berada, toh kamu kan bukan ayahku!”, ucapnya kasar.
Hatiku bergetar mendengar perkataan anak kecil itu, sesaat aku
menganggap anak ini kurang ajar, tapi mungkin ada benarnya juga.
Walaupun aku suka kepada ibunya tapi kan ia sudah berkeluarga dan sulit
bagi sebuah keluarga untuk dengan mudah kehilangan salah satu anggota
keluarga yang dicintainya maupun dimasuki oleh orang yang baru mereka
kenal. Aku dan anak itu pun terdiam beberapa lama kemudian anak itu
tertidur pulas. Aku pun mulai mengantuk karena semenjak tadi hanya diam
mengunci mulut. Akhirnya aku pun memejamkan mata dan tertidur pulas.
Beberapa saat kemudian terdengar lagi olehku deru roda-roda kereta yang
berirama. Aku pun mulai membuka mataku lagi. Namun, kini di hadapanku
duduk seorang pria gagah yang mengenakan sebuah kemeja putih dan
bercelana cokelat. Rambutnya tampak klimis dan dia juga tampak lebih
arif dengan kacamatanya. Aku mulai bingung, bukankah yang tadi duduk di
hadapanku ini seorang nyonya dan anaknya. “Ah mungkin saja aku sedang
bermimpi.”, batinku.
Aku pun berkenalan dengan pria itu,
namanya Andi. Persis seperti nama anak kecil yang kutemui dalam mimpiku
tadi. Dan kami pun mengobrol tentang segala hal. Andi mulai terbawa
pembicaraan. Begitu pula denganku. Kami saling berbagi pengalaman,
berbagi cerita dan juga berbagi alamat dan nomor telepon.
“Oh
ya, Tuan. Maukah engkau kuceritakan sebuah kisah menarik saat aku
berumur 10 tahun?”, Tanya Andi. “Oh tentu saja.”, jawabku. “Baiklah,
akan kuceritakan.”, Andi pun bercerita tentang pengalamannya ketika ia
berusia 10 tahun. Ketika itu ia tersesat di gerbong kereta dan tidur di
bagasi barang. Dan saat ditemukan dan di bawa oleh kondektur menemui
ibunya, ia mendapati ibunya sedang asyik mengobrol dengan seorang pria
yang tak ia kenal dan ia pun akhirnya merasa cemburu karena belum lama
ayahnya meninggal. Ia tak ingin punya ayah yang baru karena ia amat
mencintai ayahnya. Andi menyuruh ibunya agar berhenti ngobrol dengan
lelaki itu dan menyuruhnya pergi. Lalu sesudah lelaki itu pergi, Andi
bertengkar dengan ibunya sehingga ibunya kesal dan akhirnya pergi untuk
pindah gerbong. Ketika ibunya telah pergi, lelaki yang semenjak tadi
mengobrol dengan ibunya datang kembali dan menanyakan tentang keberadaan
ibunya. Adi menjawab dengan nada ketus “Mau apa kamu mencari-cari
ibuku! Lagi pula apa urusanmu menanyakan di mana ia berada, toh kamu kan
bukan ayahku!”
“Aku merasa bersalah dengan perbuatanku
terhadap lelaki itu dan ingin rasanya aku memohon maaf atas sikap
kasarku dulu kepadanya.”, Andi menutup ceritanya.
“Lalu dimana ibumu saat ini?”, tanyaku.
“Ibuku pindah gerbong dan ternyata ia pindah ke gerbong belakang.
Beberapa saat setelah aku tertidur aku merasa aneh dan beranjak dari
tempat dudukku. Tiba-tiba terjadi tabrakan antara kereta yang kutumpangi
dengan kereta lain. Saat itu aku berada di gerbong tiga dan selamat
sedangkan ibuku rupanya tewas karena ia pindah ke gerbong belakang yang
hancur akibat tabrakan itu. Aku amat menyesal seandainya saja aku
membiarkan ibuku tetap mengobrol dengan pria itu mungkin ibuku tak akan
pindah gerbong dan menyusul ayahku ke alam baka.”, Andi menjelaskan
panjang lebar untuk kesekian kalinya.
“Oh, aku turut bersedih
atas pengalamanmu yang amat menyedihkan.”, ujarku bersimpati. Dalam hati
aku berfikir mungkinkah aku melenggang ke masa lalu selama aku
tertidur, ataukah mimpi itu hanya kebetulan saja.
“Hmm…boleh aku tanya sesuatu?”, tanyaku.
“Oh ya, silahkan.”, jawab Andi.
“Hmm…aku ingin tahu, saat kau terbangun….sebelum kecelakaan itu..kau tahu dimana pria yang duduk dihadapanmu?”, tanyaku lagi.
“Kurasa ia pergi ke gerbong lain saat aku tertidur, yang jelas aku tidak menemukannya saat aku terbangun.”
Seribu satu tanda tanya mulai memusar di dadaku. Apakah benar pria yang
ada di masa lalu itu adalah aku? Sesaat aku masih ingat senyuman nyonya
yang tadi duduk di bangku nomor 13 dan mengobrol denganku sambil
menunggu anaknya ditemukan hatiku mulai gundah, tak mungkin ini suatu
kebetulan…tapi bagaimana bisa?
“Maaf, Tuan. Apa kau suka berjalan-jalan dengan kereta?”, Andi tiba-tiba memotong lamunanku.
“Oh…eh…iya…tentu saja…”, jawabku gugup.
“Selama hidupku aku merasa dihantui perasaan bersalah terhadap pria
yang kucaci maki 10 tahun lalu. Setiap aku bepergian naik kereta aku
selalu memesan bangku nomor 13 tempat dahulu ibuku duduk sebelum ia
pergi untuk selama-lamanya. Dan aku juga selalu menceritakan kisah ini
kepada setiap orang yang duduk di bangku nomor 12, 14 dan 15. aku juga
selalu berpesan kepada semua orang yang kuceritakan tentang kisah ini
untuk menyampaikan permohonan maafku yang sebesar-besarnya untuk pria
yang 10 tahun lalu kucaci maki. Ibu dan ayahku di sana pasti tak suka
memaafkanku jikalau permohonan maaf ini tak sampai kepada pria itu.
Maukah Tuan membantuku?”, pinta Andi.
“Baiklah aku akan
membantumu. Dan aku yakin pria itu pasti sudah memaafkanmu, karena dulu
umurmu kan masih 10 tahun.”, ujarku menghibur Andi.
“Saat ini pasti pria itu sudah berumur sekitar 40 tahun dan mungkin dia sudah punya istri dan anak.”, ujar Andi.
Kereta pun terus melaju, hingga akhirnya tiba di kota Surabaya. Aku dan
Andi pun turun di salah satu stasiun di Kota Pahlawan itu. Dari sana
kami berpisah menuju ke tempat tujuan kami masing-masing. Walaupun kami
sudah berpisah masih saja aku memikirkan serentetan peristiwa yang
kutemui di kereta tadi. Semenjak saat itu aku pun mulai berjanji, aku
tak akan banyak ngobrol selama perjalanan dengan kereta. Aku juga nggak
bakal lagi-lagi tertidur di bangku kereta. Mungkin aku bisa mengusir
kebosanan dalam perjalanan dengan membaca-baca buku sambil minum kopi,
atau melihat-lihat pemandangan sepanjang perjalanan.
Tapi
“Ops…!”, tak kusadari kedua ikatan tali sepatuku terlepas, aku pun
berjongkok untuk menalikannya kembali. Namun saat aku berjongkok,
“Pluk…!!”, dua bungkus cokelat jatuh dari sakuku. Aku mulai berfikir
dari mana cokelat-cokelat ini, aku merasa tak pernah membeli cokelat
sepanjang perjalanan. “Ah….aneh-aneh saja yang terjadi hari ini.”
`post by AS`
Tidak ada komentar:
Posting Komentar